Saturday, March 24, 2012

BBM - Bener Bener Musingin

Dalam perjalanan kerja gw kemaren ga sengaja gw baca artikel dari salah satu idola gw jaman dulu yang da lama banget ga gw denger lagi kabarnya.. (tumben banget gw baca hal2 yang sedikit serius, hehehe..) 

JAYA SUPRANA

Bukan karena beliau ga eksis, tapi lebih ke gw-nya males baca berita, hehehe..

Gw tergelitik sama kelirumologinya tentang BBM, makanya gw posting biar jadi pengingat biar gw pribadi ga lupa, berikut artikelnya :
Kelirumologi BBM
Oleh Jaya Suprana dari artikel Kompas tanggal 21 Maret 2012



Akibat keyakinan bahwa Indonesia adalah negara kaya raya, sekaligus produsen minyak bumi, sulit bagi saya untuk mengerti mengapa Pemerintah Indonesia harus gelisah akibat kenaikan harga minyak bumi di pasar dunia.

Bukankah seharusnya apabila harga minyak bumi meningkat, pemerintah kita riang gembira bahkan berbahagia sebab bisa panen profit? Kalau ternyata malah gelisah, pasti ada udang di balik batu alias ada yang keliru di perminyakbumian Indonesia.

Saya pun mencoba menerawang kekeliruan itu dengan lensa kelirumologi berbekal bahan data dan informasi dari teman-teman yang lebih menguasai seluk-beluk perminyakbumian nasional maupun internasional.

Ternyata dugaan saya tidak keliru. Banyak kekeliruan anggapan tentang perminyakbumian yang telanjur mengendap di benak saya. Misalnya, anggapan bahwa Indonesia kaya raya minyak bumi ternyata keliru. Dibandingkan dengan kekayarayaan negara-negara produsen minyak bumi lain, sebenarnya Indonesia miskin. Juga keliru, anggapan bahwa Indonesia adalah produsen minyak bumi sebab Indonesia sudah bukan anggota perhimpunan negara-negara produsen minyak bumi, OPEC, akibat kini memang sudah tidak layak lagi disebut sebagai negara produsen. Impor yang lebih besar dari ekspor membuat Indonesia lebih layak disebut importir.

Meski bumi Indonesia mengandung minyak bumi, dengan alasan mutu terlalu tinggi untuk konsumsi dalam negeri, kita malah mengekspor minyak bumi. Dana hasil ekspor digunakan untuk mengimpor minyak bumi dengan mutu lebih rendah untuk konsumsi dalam negeri.

Dana hasil ekspor lebih besar ketimbang dana untuk impor sehingga kondisi yang terkesan rumit berbelit-belit itu tetap dilaksanakan, bahkan sudah menjadi semacam kelaziman yang tidak boleh diubah! Sayang, kini kondisi surplus itu berubah akibat volume konsumsi dalam negeri membengkak. Ini masih ditambah beban subsidi sehingga surplus berubah menjadi defisit pada ekspor-impor minyak bumi Indonesia.

Saran saya untuk menghentikan ekspor minyak mutu tinggi demi dialihkan ke pemenuhan kebutuhan dalam negeri dianggap tidak relevan oleh para ahli. Soalnya, kapasitas produksi sudah jauh ketinggalan ketimbang volume konsumsi dalam negeri yang telanjur membengkak!

Defisit itulah sumber kegelisahan Pemerintah RI menghadapi kenaikan harga minyak bumi di pasar dunia dan kembali terjebak dilema klasik antara menaikkan atau tidak menaikkan harga BBM. Padahal, keputusan apa pun ujung-ujungnya pasti menyengsarakan rakyat. Ibarat Hamlet tidak perlu bingung menghadapi dilema to be or not to be sebab sudah jelas siapa yang akan menjadi korban.

Solusi

Berdasarkan temuan Pusat Studi Kelirumologi, salah satu kekeliruan utama yang lazim timbul pada upaya pemecahan masalah adalah memubazirkan energi lahir batin: bukan demi memberi solusi, melainkan malah gigih dan sengit saling menyalahkan. Selaras dengan kegemaran bangsa Indonesia mencari kambing hitam.

Menyadari keterbatasan diri saya yang mustahil lepas dari kekeliruan, saya tidak berani melibatkan diri dalam kemelut saling menyalahkan maupun adu pendapat mengenai harga BBM. Saya hanya berani memberi saran yang semoga berfaedah sebagai solusi jangka panjang pada salah satu kekeliruan: perilaku konsumsi energi.

Logika solusi pada masalah lebih besar pasak daripada tiang adalah membesarkan tiang agar lebih besar daripada pasak atau dalam kasus defisit minyak bumi Indonesia adalah membesarkan volume ekspor agar lebih besar daripada volume impor. Caranya dengan meningkatkan produksi minyak bumi mutu tinggi di dalam negeri untuk diekspor sehingga lebih besar daripada volume impor minyak bumi mutu rendah. Namun, sebenarnya masih ada cara lain agar tiang menjadi lebih besar ketimbang pasak, yaitu dengan menekan konsumsi minyak bumi dalam negeri. Gerakan hemat energi seyogianya jangan hanya berhenti sebagai slogan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Lingkungan Hidup, tetapi harus bisa mendarah daging sebagai salah satu bentuk kebudayaan bangsa Indonesia.

Akibat de facto pemborosan energi lebih banyak merajalela di kawasan urban ketimbang rural, sewajibnya masyarakat perkotaan lebih bertanggung jawab untuk menjabarkan gerakan Hemat Energi Nasional (HEN) ke sikap dan perilaku mereka.

Gerakan HEN bisa dimulai dari kebiasaan memadamkan lampu dan alat-alat rakus tenaga listrik saat tidak digunakan di rumah atau kantor sampai menghentikan kegiatan perkantoran seusai jam kerja demi bisa mematikan semua lampu sampai lift di luar jam kerja.

Perlu disadari pula bahwa sebenarnya Indonesia tidak hanya kaya raya minyak bumi, tetapi juga kaya raya sumber energi lain, seperti air, angin, matahari, gas bumi, sampai bioenergi. Semua itu siap didayagunakan untuk mengambil alih peran dan fungsi minyak bumi yang telah terbukti membawa banyak manfaat tetapi juga mudarat bagi bangsa dan negara Indonesia!

Jaya Suprana Pendiri Pusat Studi Kelirumologi

-end-

No comments: